Jumat, 11 Maret 2011

CINCIN DI PAGI BUTA

Pagi ini, ya mulai pagi ini lah aku mencoba untuk menemui kehidupanku yang baru. Tapi ketika langkahku hendak beranjak, aku tak tahu arah kemana yang harus aku tuju. Dan seperti biasa semua kembali pada kehidupan yang membosankan.
Entah mengapa hari ini aku merasa layu, tak merekah memamerkan semangatku. Dengan sengaja kulirik mata itu, mata tajam nan penuh misteri. Ia membuatku tak kuasa memamerkan lirikan tajam yang menawan hatinya. Akankah dia sadari itu?
Mungkin dari sanalah timbulnya rasa ingin tahu ku, betapa menarik hati mata yang tak kunjung menghampiriku itu. Siapakah pemilik fatamorgana keindahan alam itu, yang mampu menelisik dalam hingga ke dasar bumi.
Ketika aku mulai berjalan menjauh, terkejut aku karena sentuhan lembut yang melayang di pergelangan tanganku. Tak pernah kusangka ada yang berani menahan ku seperti ini. Setengah ingin menghardiknya kulantunkan nyanyian petir yang agak menggelegar, namun sayang tak sempat kkubayangkan kalu aku lah yang terkejut bukan kepalang.
Ia memegang tanganku, bagaikan mimpi memeluk bulan di siang hari. Baru kali ini kurasakan jantungku berhenti sesaat dan setelah itu berdetak tak keruan. Apakah gerangan yang terjadi? Mungkinkah hatiku telah terpatri erat dalam dekapannya?
Tak sempat kuingat apa yang terjadi sampai aku tersadar oleh guncangan tanganya yang gagah mendekap hangat di pundakku. Seberapa lamakah aku telah terbang dalam anganku itu hingga tak tahu dia masih ada di depanku, pikirku membodohi diri. Tak sengaja kulihat sekilah cahaya dari tanganku, kupeggangi tangan kiriku. Ada benda keras melingkari jari manisku, darimanakah gerangan batinku.
Aku cermati perlahan menelusuri jari manisku, ternyata benda itu begitu cantik dengan permata berkilauan diatasnya. Sejak kapan cincin emas nan menawan hati setiap insan ini menghiasi jari manisku. Aku menatap ragu penuh tanya padanya. Ia yang ada di depanku. Apakah dia atau memang ini hanya khayalan pemberi rasa bagi jiwaku.
Tak kusangka pria itu tersenyum memastikan apa yang telah aku sangsikan. Ketika aku membatu tak tentu perasaanku, ia telah sengaja menyematkannya di jariku.
Dan akhirnya dia berkata,
“ Akankah kau mau mendampingi aku hingga surya tak mampu lagi menyinari kehidupanku?” tanyanya dengan sedikit ragu.
Sejak saat itu aku tak pernah lagi melirik mata itu, mata yang mampu meruntuhkan hati para dewi-dewi yang turun dari surga. Akan tetapi sekarang aku telah melihatnya, melihat setiap detail apa yang ada di mata itu, dimana rahasia yang ada disana ternyata hanya untukku.

Jaksel, 11 Maret 2011,

Dyah Ayu Setyani